Apa Itu SPM (Satuan Pendidikan Mu’adalah)?
Pesantren di Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai pusat pendidikan dan pembinaan moral umat. Dari lingkungan pesantrenlah lahir banyak ulama, pemikir, dan tokoh yang berperan besar dalam kehidupan sosial, keagamaan, bahkan kebangsaan. Dalam perjalanannya, pemerintah memberikan ruang pengakuan terhadap pesantren yang mengelola sistem pendidikan sendiri melalui mekanisme yang disebut Satuan Pendidikan Mu’adalah, disingkat SPM.
Satuan Pendidikan Mu’adalah merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren dengan sistem pembelajaran, kurikulum, dan metode yang disusun secara mandiri. Berbeda dengan sekolah umum atau madrasah yang mengikuti kurikulum nasional, SPM menjalankan sistemnya sendiri, namun telah memperoleh pengakuan resmi dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Pengakuan tersebut menjadikan hasil pendidikan di pesantren setara dengan lembaga pendidikan formal. Dengan kata lain, ijazah lulusan SPM memiliki status hukum yang sama dan dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Landasan hukum keberadaan SPM bersumber dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren serta Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren. Melalui dua regulasi ini, pemerintah menegaskan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga keagamaan, tetapi juga lembaga pendidikan yang memiliki sistem tersendiri dan layak mendapatkan pengakuan formal. Negara menghargai kemandirian pesantren tanpa mengubah jati dirinya sebagai lembaga tafaqquh fiddin, yaitu tempat mendalami ilmu agama dan menanamkan nilai-nilai akhlak mulia.
Dalam praktiknya, pendidikan di Satuan Pendidikan Mu’adalah tetap berakar pada tradisi pesantren yang menekankan kedalaman ilmu agama, penguasaan kitab kuning, dan pembentukan karakter santri. Namun demikian, sistem pembelajaran di dalamnya tidak tertutup terhadap perkembangan zaman. Banyak pesantren mu’adalah yang mengintegrasikan kajian agama dengan pengetahuan umum, bahasa, dan keterampilan hidup, sehingga santri tidak hanya memahami ajaran agama secara tekstual, tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial modern.
Salah satu keunikan SPM terletak pada cara penilaiannya. Pesantren menilai santri bukan hanya dari aspek akademik, tetapi juga dari kedisiplinan, akhlak, dan keterlibatan dalam kehidupan pesantren. Proses belajar-mengajar pun berjalan sepanjang waktu, karena lingkungan pesantren sendiri menjadi ruang pendidikan yang hidup — tempat santri belajar dari kitab, dari guru, dan dari pengalaman keseharian.
Pengakuan terhadap Satuan Pendidikan Mu’adalah memberikan banyak manfaat, baik bagi pesantren maupun bagi para santri. Bagi pesantren, pengakuan ini menjadi bentuk apresiasi atas peran besar mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa kehilangan karakter khasnya. Sementara bagi santri, keberadaan SPM membuka kesempatan yang lebih luas untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau berkarier di berbagai bidang dengan legitimasi ijazah yang diakui negara.
Beberapa pesantren besar di Indonesia telah mendapat pengakuan sebagai Satuan Pendidikan Mu’adalah, seperti Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan di Madura, dan sejumlah pesantren lain yang memiliki tradisi pendidikan kuat serta tata kelola yang mapan. Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren yang berakar pada nilai-nilai keislaman klasik tetap relevan dalam menghadapi tantangan dunia modern.
Pada akhirnya, Satuan Pendidikan Mu’adalah menjadi wujud nyata sinergi antara tradisi dan modernitas. Melalui sistem ini, pesantren dapat terus mempertahankan independensinya dalam mengelola pendidikan sambil memperoleh pengakuan dari negara. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi lembaga pelestari nilai-nilai keagamaan, tetapi juga bagian penting dari sistem pendidikan nasional yang berkontribusi dalam membentuk generasi yang berilmu, berakhlak, dan siap menghadapi perubahan zaman.
.jpeg)